Paradigma kebanyakan orang Indonesia dalam membeli barang cenderung menghambat inovasi baru termasuk software Open Source. Namun software Open Source tidak sepenuhnya bertentangan dengan pemikiran itu.

Penerapan inovasi baru di Indonesia sering terkendala pemikiran umum orang Indonesia sendiri dalam membeli barang. Orang Indonesia cenderung memandang barang yang bagus sebagai barang yang mahal, bermerek terkenal, dan berasal dari luar negeri. Pemikiran ini lazim ditemui dalam pertimbangan membeli barang dan jasa di berbagai bidang.
Sebaliknya orang Indonesia cenderung menganggap produk berharga terjangkau, dengan merk yang tergolong baru, atau produk dalam negeri sebagai produk kelas dua. Ini menyulitkan produk Indonesia bersaing dengan produk asing. Perusahaan Indonesia memimpin pasar domestik hanya pada sejumlah produk, seperti batu baterai (PT. ABC) dan mie instan (PT. Indofood). Kita miris karena dengan populasi sekitar seperempat miliar jiwa, Indonesia adalah pasar terbesar keempat dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat.

Software Open Source memberi udara segar di Indonesia dengan mendorong penggunaan software legal tanpa membayar mahalnya lisensi software. Banyak perusahaan besar Indonesia telah merasakan dan mengakui sendiri performa apik software Open Source. Kini tidak asing menjumpai software Open Source seperti Linux, PostgreSQL, LibreOffice, atau WordPress dalam lingkungan bisnis Indonesia.
Paradigma umum orang Indonesia dalam membeli barang cukup mengganjal adopsi software Open Source. Orang Indonesia awalnya cenderung sulit percaya software Open Source mampu memberi performa tinggi tanpa lisensi yang mahal. Namun seiring waktu software Open Source mampu semakin membuktikan kinerjanya dan berbuah kepercayaan perusahaan-perusahaan besar.
Software Open Source sejatinya tidak sepenuhnya bertentangan dengan pemikiran umum orang Indonesia dalam membeli barang. Bahkan software Open Source cukup mudah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada kini. Orang Indonesia mulai memikirkan kembali korelasi performa dan mahalnya lisensi software. Software Open Source semakin terkenal dan bahkan mulai mengikis dominasi software berbayar. Juga software Open Source tergolong produk global, bukan sekedar produk luar negeri.

Pengguna software Indonesia kini semakin mengkaji ulang apakah software bagus harus mahal, dan mempertimbangkan solusi software Open Source. Harga tinggi software berbayar, yang naik di tiap rilisnya, mendorong pengguna beralih ke software Open Source. Contohnya harga paket program produktivitas kantor Microsoft Office. Setelah rilis-rilis mahal, Microsoft sebagai pembuatnya berusaha mengikat pengguna dengan mengubah skema pembiayaan Office menjadi produk sewaan.
Versi baru software berbayar juga belum tentu menambah nilai, karena menuntut peningkatan hardware namun tidak selalu memberi peningkatan signifikan. Contohnya sistem operasi Windows Vista sebagai penerus Windows XP. Vista gagal meneruskan reputasi XP karena meski menuntut hardware berspesifikasi tinggi, namun masih dipenuhi bug.

Performa mumpuni software Open Source berbuah pengakuan dan adopsi pengguna termasuk perusahaan besar. Contohnya kini lebih dari 90% pasar sistem operasi perangkat mobile dikuasai Andriod yang Open Source. Para perusahaan dot.com juga memilih infrastruktur software dari susunan software Open Source seperti Linux, Apache, PostgreSQL, dan PHP atau Perl.
Software Open Source kini makin terkenal dan mampu bersaing dengan software berbayar. Sistem operasi Open Source seperti Linux dan FreeBSD kini bersaing dengan software berbayar seperti Windows dan Mac OS. Paket program produktivitas kantor LibreOffice kini menjadi alternatif handal atas Microsoft Office. Saat ini tidaklah aneh jika banyak orang makin ingin tahu akan software Open Source.

Meski banyak dimulai dari luar negeri, software Open Source lebih cocok disebut produk global ketimbang produk luar negeri. Ini karena banyak individu dari berbagai negara berkontribusi dalam pengembangan software Open Source.
Komunitas pengembang Indonesia telah menelurkan banyak distribusi Linux seperti IGOS Nusantara, BlankOn, dan GrombyangOS. Juga ada software Open Source asal Indonesia seperti bahasa program BAIK, program kamus SatuVISI Indict dan program pengelola SMS PlaySMS. Sayangnya software-software itu kurang dipublikasikan. Informasi tentang kontribusi signifikan orang Indonesia dalam proyek software Open Source populer juga masih minim.

Bidang IT dan software memang cenderung membutuhkan anggaran besar. Namun alangkah baiknya bila pertimbangan untuk anggaran IT yang besar didasarkan bukan untuk memenuhi gengsi, namun pada prinsip kehati-hatian dalam membangun sistem. Maka sebenarnya suatu software sudah dapat mencukupi dan menarik sebagai solusi, meskipun berasal dari dalam negeri, asal disertai dukungan profesional.
Sebagai produk global, pengguna software Open Source tidak perlu repot mencari layanan dukungan ke luar negeri. Akses source code memampukan perusahaan lokal menjadi ahli akan software Open Source. Maka perusahaan lokal itu dapat menjadi vendor bagi software itu dan menawarkan dukungan tingkat prinsipal.
Di luar negeri, banyak perusahaan lokal mengkhususkan diri menyediakan layanan dukungan profesional bagi software Open Source. Contohnya ada LinuxIT (Inggris), LinuxMagic (Kanada), Cybertec (Austria), serta 4Linux (Brazil). Indonesia memiliki PT. Equnix Business Solutions (Equnix) sebagai perusahaan lokal yang menawarkan dukungan profesional bagi software Open Source, terutama PostgreSQL dan Linux.
Sebagai kesimpulan, software Open Source tidak sepenuhnya bertentangan dengan cara pikir orang Indonesia dalam membeli barang yang memilih barang mahal bermerek terkenal dari luar negeri. Ini karena orang Indonesia mulai mengkaji kembali korelasi performa dan harga software, sementara software Open Source tergolong produk global yang semakin terkenal.