Webinar Series| Equnix Business Solutions

Mengapa Kita Perlu Open Source?

Memeriahkan HUT RI ke 77, Equnix tak hanya mengadakan perlombaan 17 Agustus namun juga mengadakan Webinar Spesial HUT RI berjudul “Mengapa Kita Perlu Open Source?”. Webinar dilaksanakan secara diskusi panel dengan Pakar IT Bapak I Made Wiryana bersama dengan Pak Julyanto Sutandang dan Pak Lucky Haryadi. Pak Made menuturkan bahwa dengan penggunaan Open Source, kita dapat mengatasi inferior sindrom. Karena dengan menggunakan Open Source, kita memiliki kebebasan namun tetap bertanggungjawab.

Dari sisi akademisi Pak Syauqi menyampaikan bahwa Open Source sangat membantu dalam melakukan pembelajaran untuk mempelajari sesuatu dan sebagian besar mahasiswa menggunakan Open Source dalam membuat tugas akhirnya. Open Source menarik untuk akademisi karena memberikan kesempatan untuk belajar mensharing apa yang sudah para dosen-dosen pelajari. Dengan fleksibilitasnya, Open Source sangat fleksibel dalam membuat solusi secara spesifik sesuai dengan kebutuhan.

Webinar kali ini tak kalah meriah lebih dari 65% peserta begitu antusias bertanya kepada narasumber dengan jumlah pertanyaan mencapai 31 pertanyaan yang disampaikan melalui Q&A. Begitu antusiasnya peserta membuat seluruh pertanyaan tidak dapat dijawab secara langsung saat webinar, sehingga untuk pertanyaan yang belum terjawab akan dijawab tertulis dengan report Q&A keseluruhan. Dan kami juga mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang sudah diberikan melalui survey di akhir webinar. Kritik dan saran yang diberikan dapat menjadikan Equnix lebih baik lagi kedepannya. Untuk recorded webinar dapat dilihat pada Youtube Channel Equnix Business Solutions pada link di bawah atau dapat mengunjungi website kami di https://equnix.asia/events/webinar/2022.

Webinar kali ini disponsori tunggal oleh AMD (Advanced Micro Devices). AMD adalah perusahaan semi konduktor terkemuka yang memproduksi processor terbaik untuk bisnis saat ini. AMD EPYC memiliki kemampuan high-performance compute yang dibutuhkan oleh dunia bisnis.


Dibawah ini adalah dokumentasi QnA yang menarik antara Pembicara dan Peserta.

Bambang Wijanarko

Q: Menurut Pak Made, dengan banyaknya Anak Usaha atau Cucu Usaha BUMN yang bergerak di dunia IT yang tergabung dalam ForTI BUMN, apakah possible untuk membangun ekosistem Open Source tersebut?


A: Possible tapi kembali lagi kepada rekan-rekan di BUMN dalam memanfaatkan dan menerapkan ForTI. Prinsip pengadaan dan pengembangan IT nya bagaimana? Kalau memang mereka menerima manfaat dari konsumsi lisensi, tentu saja tidak akan menarik teknologi Open Source. Tetapi saya paham bahwa banyak BUMN yang mengembangkan teknologinya sendiri dan itu akan menjadi potensi untuk membentuk ekosistem Open Source. Apalagi kalau ada aplikasi sejenis yang bisa menyelesaikan permasalahan di BUMN-BUMN. Anggaplah ada suatu pekerjaan yang sejenis, lalu menggunakan kacamata SPBE (aplikasi berbagi pakai). Kalau di Pemerintahan aplikasi berbagi pakai yang sejenis, itu tidak boleh didanai dua kali. Kalau BUMN menerapkan hal yang sama dengan konsep SPBE sebagai aplikasi berbagi pakai, maka itu dapat menjadi potensi yang besar apabila menjadi suatu ekosistem pengembangan Open Source dalam BUMN.

Bambang Wijanarko

Q: Bagaimana memastikan bahwa software Open Source memiliki jaminan update security-nya maupun managed service-nya?


A: Pak Made menyampaikan, bila berbicara mengenai managed services, kita perlu ketahui ada tidak company yang memberikan support. Saat ini, kita pisahkan terlebih dahulu antara softwarenya dan company yang memberikan support. Jadi bukan software ini mampu mensupport atau tidaknya. Karena bisa saja pada software tertentu patching dilakukan oleh company yang support dan saat ini banyak terjadi. Yang perlu diperhatikan adalah company yang dapat memberikan support, bukan sisi software-nya. Namun kita bisa juga perhatikan bagaimana sejarah update nya software itu sendiri. Ketika sudah mengetahui sejarahnya, perlu mencari tahu ada atau tidak company yang membantu untuk mengaudit dan membantu patching. Hal tersebut jauh lebih penting dalam masalah jaminan. Karena biasanya software untuk komersil, akan memiliki tim sendiri yang melakukan audit dan patching di internal. Sedangkan yang tidak memiliki keahlian tersebut, mereka akan menyewa perusahaan yang memiliki keahlian tersebut.
Pak Julyanto menambahkan, bahwa pada dasarnya yang bermasalah bukanlah dari sisi software nya, namun kepada siapa kita harus membeli layanannya. Dengan memperhatikan statement nya, maupun SLA nya.

Rusdiansyah

Q: Pak Lucky, Bagi kita yang baru akan memulai memakai Open Source, tadi disebutkan banyak sekali tipe-tipe Open Source seperti pure Open Source, etc. Bagaimana tips memilih Open Source yang cocok dengan kebutuhan kita? apa saja yang perlu diperhatikan? dan license apa yang perlu kita ambil?


A: Dari sisi teknis, kita dapat melihat seberapa mudah mengakses source codenya. Karena kita berbicara dari sisi aplikasi yang ingin kita jadikan solusi terhadap permasalahan. Hal yang perlu diperhatikan adalah:

  1. Identifikasi masalah
  2. Fitur nya memadai dan sesuai dengan kebutuhan atau tidak
  3. Source code nya mudah diakses atau tidak
  4. Seberapa mudah source code dipelajari
  5. Dokumentasi dari aplikasi
  6. Lisensi, tergantung kebutuhan. Dan cek kembali ketentuan lisensinya. Apakah membebaskan kita atau ada syarat-syarat tertentu. Pure atau non pure open source.

Budi Hertanto

Q: Bagaimana caranya kita bisa mengembangkan secara legal suatu Open Source berbasis Open Source yang sudah ada sebelumnya (seperti misalnya adempiere dikembangkan menjadi idempiere)?


A: Saya kira kalau kita punya purpose tertentu, kita boleh forking. Salah satu contohnya pada PostgreSQL juga ada forking Open Source, yaitu IvoryDB. Kalau kita punya purpose tertentu dan memiliki SDM serta community nya, boleh saja kita forking. Idempiere dahulunya adalah software proprietary dijadikan Open Source. Ini adalah software aplikasi ERP. Seperti kita lihat secara umumnya, software yang murni Open Source rata-rata adalah infrastruktur bukan aplikasi atau bisnis proses. Karena itulah yang menjadi salah satu nilai software tersebut dipakai di banyak sekali pengguna. Untuk software yang bersifat applications cenderung bersifat business minded, dan ada commercial impact nya. Untuk Idempiere, jika ada resource yang cukup untuk mengembangkan sah-sah saja. Saya banyak sekali menemukan beberapa vendor yang mengembangkan dari Odoo. Mereka forking sendiri. Tidak menjadi masalah selama kita mampu mengembangkan, memantainnya, dan mengetahui purpose nya. Kalau secara personal atau karena suatu institusi, otomatis tidak bisa disebut Open Source nantinya. Karena akan ada kepentingan tertentu pada satu pihak.
Kami mendefinisikan Open Source dengan beberapa faktor, salah satunya adalah ada berapa pihak yang punya kepentingan disitu. Kalau pihaknya dominan, maka hal tersebut tidak bisa disebut dengan Open Source.
Pak Made: Kunci nya sama, setiap karya itu tergantung penciptanya mau dibagaimanakan dan itu dinyatakan dalam lisensi. Terkait ketentuan memodifikasi, bacalah lisensinya. Kita tidak boleh membuat perubahan tanpa meng-open-kan lagi dan tentunya tidak boleh mengkomersial (distribusinya). Kalau lisensinya hanya boleh untuk pendidikan, hargailah. Masalahnya di Indonesia termasuk lembaga pendidikan, kurang menghargai lisensi tersebut. Kita sendiri belum mengedukasi akademisi untuk peka terhadap lisensi, apalagi lisensi Open Source yang harus dibaca. Hal tersebut menjadi salah satu kendala kita di Indonesia, karena kita boleh saja forking dan tetap proprietary karena memang diperbolehkan. Tapi ada juga forking yang boleh mengkomersilkan namun tetap memakai lisensi atribusi. Kuncinya harus membaca dengan benar. Karena tidak semua software yang mengklaim itu Open Source, cocok dengan kebutuhan kita. Kalau forking dari BSD, kita boleh komersialkan. Namun kalau kita forking dari GPL harus diteruskan sebagai GPL juga. Dan “Kemerdekaan itu akan datang dengan tanggungjawab”, ungkap Pak Made.

Michael Tanu

Q: Menurut Narasumber, bagaimana perkembangan Open Source di Indonesia? dan bagaimana dengan tingkat keamanannya?


A: Perkembangan Open Source di Indonesia sangat menjanjikan, sekarang ini sudah banyak sekali Perbankan Nasional yang sudah menggunakan software yang berasal dari Open Source, hal ini tentunya sangat membanggakan kita semua sebab adopsi Open Source sudah dalam tingkatan yang tertinggi pada Industrinya, seperti yang kita ketahui bahwasannya Industri Keuangan adalah Industri yang paling tinggi dalam strata adopsi teknologi informasi.
Indonesia sudah dikenal sebagai negara yang paling banyak mengadopsi Open Source di dunia bisnis dibandingkan negara-negara asia tenggara lainnya. Sebagai contohnya PostgreSQL sudah banyak digunakan di banyak Perbankan Nasional di Indonesia, sebuah prestasi yang tidak mudah dicapai oleh negara lainnya di Asean.

Budi Hertanto

Q: Bagaimana sebuah Open Source bisa berubah menjadi proprietary? Apakah bisa mencegah akuisisi ini terjadi?


A: Open Source ini adalah community based development yang tidak harus menjadi proprietary kemudian menjadi end of life. Karena end of life pada Open Source itu (adalah) ketika semua orang di dalam (komunitas) nya sudah tidak lagi terlibat. Jadi sudah freeze, tidak ada pengembangan. Meskipun demikian, bukan berarti selesai, karena source code nya (masih) tersedia secara publik selama internet masih ada.
Akan sangat susah sekali kita membayangkan bagaimana sebuah Open Source itu dapat selesai. Tidak bisa software Open Source menjadi proprietary, kecuali software tersebut memang bukan bersifat murni Open Source. Untuk Software yang tidak murni Open Source, dikembangkan oleh entitas khusus (bukan publik) sehingga bilamana pengembangnya sudah tidak ada lagi (perusahaannya bangkrut) maka otomatis tidak dapat lagi dikembangkan dan lama-kelamaan akan ditinggalkan penggunanya dan akhirnya akan hilang.
Beda halnya dengan yang dikembangkan secara murni (dari komunitas yang netral) umumnya pengembangan akan tetap berjalan karena sumber daya pengembanganya ter-kaderisasi secara alamiah dan tersebar secara geografis, sehingga akan selalu ada sumber daya manusia yang akan mengembangkannya.

Michael Tanu

Q: Salah satu pertimbangan perusahaan menggunakan Open Source adalah penghematan cost. Namun apabila di timbang dengan sisi IT, pada umumnya Open Source sangat minim terhadap support, dokumentasi, security, dan pengembangan jangka panjang. Apakah hal ini sebanding antara low cost perusahaan dengan effort tim IT?


A: Keuntungan utama menggunakan Open Source bukan lah cost semata. Penggunaan Open Source harus didukung dengan layanan yang mumpuni. Pada level SOHO maupun non bisnis, bisa saja menggunakan Open Source dengan minim-nya support, karena level of importance-nya tidak terlalu tinggi. Namun untuk level korporasi, importance level-nya sangat tinggi. Open Source memang tidak cocok digunakan pada level korporasi bilamana hanya menginginkan murahnya saja. Namun bilamana ingin mandiri dan terbebas dari vendor lock-in, pakailah Open Source dengan menggunakan vendor yang cukup mumpuni yang dapat memberikan layanan selengkap-lengkapnya seperti kita menggunakan layanan proprietary. Open Source memungkinan kita memiliki support yang lebih lengkap dan dalam.

Michael Tanu

Q: Menurut seluruh narasumber Bagaimana cara terbaik untuk mengedukasi serta mendorong untuk SDM kita supaya gemar menggunakan software berbasis Open Source, karena kita tahu banyak sekali potensi-potensi yang bisa digali dan dipelajari dari Open Source? dibanding hanya menggunakan software-software license yang telah beredar


A: Pak Julyanto menyampaikan bahwa hal tersebut juga menjadi tantangan bagi kami. Saya sering sekali menyampaikan kepada tim, tentang bagaimana dan apa impact yang bisa kita lakukan kalau kita menangani client dalam hal solusi berbasiskan Open Source. Tidak hanya satu kepuasan yang bersifat fisikal tapi juga kepuasan batin, karena kita berhasil membebaskan client kita dari vendor lock-in. Memang hal tersebut tetap challenging untuk kami, tapi kami suka melaksanakannya. Karena dapat sangat memotivasi tim untuk berkembang.
Pak Made menambahkan, kita semua tahu bahwa fleksibilitas adalah kata kunci dari Open Source. Jadi sebenarnya yang perlu dititikberatkan kepada pengguna adalah ketika menggunakan sistem Open Source, kita bisa menunjukan hal customization kecil yang tidak mungkin dilakukan dengan proprietary tapi mungkin dapat dilakukan dengan mudah saat menggunakan Open Source. Dengan penggunaan Open Source, kita bisa menjual fleksibilitas maupun mengkombinasi dengan apps lain. Orang mungkin sebenarnya tahu, bahwa dia menggunakan Open Source tapi tidak tau nilai fleksibilitas yang ditumbuhkan ketika memakainya, nah ini untuk pengguna yang tidak peduli dengan support, akan menjadi penting. Kedua, terkait security, sebetulnya kurang tepat validasi Open Source itu tidak aman. Tapi sebetulnya cara kita menjelaskan kepada pengguna, harus menggunakan bahasa yang tepat.
Dan tambahan dari Pak Lucky bahwa Equnix sudah melaksanakan kampanye ke kampus-kampus sejak tahun 2017. Kampanye tersebut berisi narasi untuk penggunaan Open Source di dunia akademis agar nantinya tercipta para technopreneur yang mampu memberikan solusi mandiri terhadap dunia bisnis di Indonesia dan menghindarkan ketergantungan pada vendor asing.

Michael Tanu

Q: Apakah organisasi skala kecil UMKM (usaha mikro kecil menengah) cocok menggunakan perangkat lunak open source sebagai dukungan teknologi informasinya? kendala-kendala yang akan timbul? dan bagaimana cara menanggapi kendala tersebut?


A: Cocok atau tidak sebetulnya tergantung dari kesiapan dan ekspektasi dari penggunanya, secara umum Open Source tanpa dukungan professional tidak cocok digunakan dalam konteks bisnis skala menengah atau besar, sebab tidak ada Institusi bisnis yang mau meresikokan bisnisnya yang sudah dibangun susah payah menjadi berantakan hanya karena kesalahan penggunaan teknologi.
Namun memang UMKM menemui kendala terkait dukungan professional, karena Open Source masih sedikit penggunanya, pembelajarannya juga tidak mudah karena tidak ada yang endorse: dari kampus juga saat ini masih sangat jarang pembelajaran Open Source sebagai materi ajar, namun masih ada yang menggunakannya sebagai media ajar, jadi kondisinya memang seperti ayam dan telur.
Salah satu cara yang kami kembangkan adalah menarik arah implementasi penggunaan Open Source dengan lebih tinggi, lebih profesional dan tentunya dengan biaya yang cukup premium agar dapat tetap membiayai riset dan pengembangan solusi Open Source (untuk Korporasi).
Saya kira, dengan adanya keterlibatan pemerintah akan sangat membantu implementasi Open Source untuk UMKM.

Michael Tanu

Q: Izin bertanya para panelis, apakah ada universitas terkemuka yang memanfaatkan sistem berbasis Open Source sebagai alat infrastruktur untuk pelaksanaan pembelajaran berbasis komputer? Apalagi lagi maraknya online learning yang sedang dijalankan karena situasi pandemi.


A: Setahu kami ada, seperti perguruan tinggi negeri seperti ITS atau ITB ada yang sudah menggunakan Open Source sebagai bahan pembelajaran, seperti contohnya penggunaan PostgreSQL dalam mata kuliah basis data.

Sugianto

Q: Pak Jul, bagaimana cara menyakinkan management bahwa solusi Open Source adalah layak digunakan untuk Company yang Enterprise/Mission Critical atau untuk Company sudah menggunakan ERP & Bagaimana metode migration yang efektif? Best practice nya seperti apa ?


A: Untuk dapat meyakinkan CEO dalam penggunaan Open Source, sudah tidak sulit lagi. Tidak seperti 5 tahun sebelumnya. Karena saat ini sudah banyak yang menggunakannya. Dengan melihat apa yang ditawarkan oleh para vendor mengenai Open Source, bila memahami dengan baik layanan IT yang benar dan profesional, saya kira sudah cukup menjelaskan. Contohnya ketika membeli layanan proprietary sudah ada SLA, tata caranya, SOP nya, dsb. Kalau untuk Open Source, jika tidak ada itu semua pasti akan menjadi masalah. Tetapi kalau ada vendor yang mampu memberikan layanan yang lebih lengkap, lebih baik, dan profesional, why not?
Permasalahan utamanya justru terletak pada client-client tersebut yang mungkin kurang memahami conduct professional dari IT services delivery tersebut. Jadi kalau kita ingin berinvestasi software ataupun IT System, kita tidak dapat berinvestasi seperti membeli mobil. Investasi itu adalah sesuatu yang sustain bukan hanya barangnya saja. Mungkin boleh membeli lisensi atau services saja, tapi juga harus memiliki cara bagaimana kita mampu mensustainkan technical support nya juga. Bagaimana kita mendapatkan services yang berkala, dsb. Saya kira itu yang perlu diperhatikan.
Pak Made: Saat ini contoh sudah banyak, namun tetap para pengguna membutuhkan jaminan yang diberikan oleh penyedia mampu sustain untuk mendukung bisnis mereka. Mereka tidak peduli seberapa cepat atau lambat, namun seberapa bermanfaat untuk bisnis mereka. Perusahaan harus diyakinkan dari kacamata bahwa bisnisnya tidak akan terganggu, bila perlu bisnisnya akan menjadi lebih baik. Tapi kalau menggunakan Open Source tidak ada support yang mampu menjamin hal tersebut, tentu saja mereka akan tidak akan melanjutkan.

Sugianto

Q: Bagaimana komitmen Equnix membangun solusi dan ekosistem berkelas Enterprise mewujudkan kemandirian bangsa, terutama dalam hal penguasaan teknologi IT baik untuk company Enterprise/mission critical, banking, UKM dll


A: Pak Julyanto menyampaikan bahwa, kita memiliki cita-cita ingin agar perusahaan di Indonesia tidak lagi terkunci services maupun solusi oleh software-software dari luar. Karena kita punya opsi, baik dari Open Source atau dari software development. Kita percaya dengan kekuatan diri kita, bahwa kita mampu memberikan solusi yang terbaik untuk korporasi di Indonesia. Untuk korporasi, Equnix sudah sangat berkomitmen untuk melayani, sejak dari 2007 Equnix mengembangkan solusi alternatif berbasiskan Open Source dan juga riset sendiri.
Namun kami belum menyasar langsung ke UMKM, karena ada beberapa perbedaan sudut pandang. Kalau melaksanakan pekerjaan Open Source di UMKM, ada beberapa hal yang mungkin kurang tepat sehingga tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh UMKM. Sementara itu, kita membutuhkan sumberdaya atau resource yang cukup banyak dan mahal untuk bisa di deliver. Jadi memang saat ini Equnix menyasar untuk kalangan Korporasi dengan tujuan bahwa dua-duanya dapat dimenangkan. Karena riset yang dilakukan membutuhkan biaya yang besar dan hanya baru bisa menyediakan sebuah layanan yang diberikan pada level korporasi.

Sugianto

Q: Ketika memilih software ERP Open Source, apa hal yang harus diperhatikan baik dari total biaya investasi, kelengkapan fitur, fleksibilitas untuk pengembangan, dukungan dari vendor, dan information availability dll


A: Kami tidak pada posisi memberikan saran terhadap produk, saat ini kami kira belum ada ERP yang benar-benar murni Open Source. Beberapa ERP “Open Source” meski benar pada dasarnya memiliki source code yang terbuka, namun secara developmentnya masih dipimpin dari mayoritas satu entitas, atau legacy (tidak dikembangkan secara serius lagi).
Meski demikian, bukan berarti tidak baik atau salah. Tidak ada masalah dengan penggunaan Software ERP tersebut, hanya kami sarankan untuk menggunakan support yang profesional. Kalau memang harus membeli lisensinya ya sebaiknya dibeli, karena memang demikian yang seharusnya dilakukan, kecuali ada vendor yang menyatakan mampu memberikan support sampai dengan level Principal dan memang juga tidak ada legalitas yang dilanggar oleh Vendor tersebut dalam usahanya memberikan layanan tersebut.
Sekedar tambahan:

  1. Kebanyakan software Open Source itu berada di ranah Infrastruktur, jarang yang bersifat aplikasi bisnis tertentu. Semakin besar diterima dan dipergunakan oleh umum, semakin besar juga komunitasnya. Sebagaimana contohnya: Linux, PostgreSQL, Docker, dll.
  2. Aplikasi bisnis umumnya membutuhkan pengetahuan dan keahlian yang lebih dari hanya teknis, seperti akunting, management, proses bisnis tertentu yang tentunya membutuhkan pengetahuan tertentu yang sesuai dengan bidang keilmuannya, contohnya SDM, SCM, dll. Sementara kebanyakan software Open Source dikembangkan oleh para praktisi IT secara individual yang umumnya memiliki keahlian dibidang IT, dan tidak terlalu memiliki interest dibidang bisnis.

Sugianto

Q: Bagaimana cara mengukur bahwa software Open Source adalah solusi tepat buat Company kita dan apa yang harus diperhatikan sebelum memilih software Open Source baik database, ERP maupun software Open Source lainnya?


A: Mohon maaf, pertanyaannya terlalu abstrak. Software Open Source apa yang dimaksud? Dan jenis company apa yang dimaksud? Karena terlalu umum, maka saya jawab secara umum juga ya. Semua kebutuhan akan solusi IT yang sudah dijawab oleh sebuah atau lebih software Open Source, dengan dukungan vendor yang mumpuni dan mampu memberikan layanan penuh dari level 1, 2 dan 3 tentu saja layak menggunakan Software Open Source tersebut.
Saya kira, dunia IT saat ini semakin meluas saja, merambah masuk ke hampir semua segi kehidupan, sehingga hampir semua solusi di tingkat infrastruktur mampu dijawab oleh Open Source. Sementara di tingkat aplikasi atau proses bisnis yang spesifik, umumnya tidak banyak versi Open Sourcenya, meskipun tidak menampik ada saja komunitas yang bergelut untuk menciptakan software aplikasi tersebut dalam bentuk Open Source. Sebaiknya konsultasi dengan yang ahlinya dan dapat mengambil kesimpulan dari brainstorming tersebut.

Michael Tanu

Q: Pak Lucky, Seberapa jauh software Open Source bisa masuk ke segmen Enterprise pak. Apakah bisa mengambil alih 100% tanpa menggunakan software berlisensi?


A: Saya rasa sangat memungkinkan karena masuknya Open Source ini dimulai dari infrastruktur. Mulai dari level infrastruktur ini, pada dasarnya memang suatu sistem sekitar 50% nya adalah infrastruktur kemudian baru untuk layer diatasnya adalah Operating System dan Applications. Dan dari awal nya sudah masuk Open Source dan kita bisa melakukan tuning dengan mudah, implementasi secara fleksibel, dan customize secara mudah. Pada implementasi layer yang semakin tinggi, maka akan dapat dengan mudah dilaksanakan. Kalau layer atas itu contohnya seperti menggunakan libraries, menggunakan API, menggunakan SDK yang di Open Source-kan, itu akan sangat mudah. Sementara yang agak kompleks adalah di level infrastruktur.
Untuk menggantikan 100% menurut saya, sangat memungkinkan sekali. Saat ini sudah mulai banyak vendor yang mendukung dan support yang diberikan untuk software Open Source tersebut, sangatlah dapat dimaksimalkan.

Rahmat Putra

Q: Untuk Pak Made. Bagaimana strategi agar penggunaan Open Source dapat lebih diprioritaskan? kita tahu bahkan konsultan/arsitek dari big four saja terafiliasi dengan brand closed source. Padahal saat sebelum project mereka yang membuat kualifikasi dan spesifikasi untuk vendor bisa penuhi. Apakah seharusnya pemerintah yang membuat persyaratan harus menggunakan Open Source software?


A: Sebetulnya agak sulit kalau pemerintahan mempersyaratkan, tetapi dengan peraturan tertentu bahwa source code harus diserahkan kepada pemerintah, itu menjadi hal yang berbeda. Tetapi tingkat audit dari program tersebut. Banyak negara yang mensyaratkan semua sistem yang digunakan pada negara tersebut harus bisa diaudit hingga source code level. Baik dengan bersifat Open Source atau dengan special contract (hanya bisa melihat untuk audit bukan untuk lain hal). Ada beberapa negara memberikan preferensi dengan cara seperti itu.
Pak Julyanto sedikit menambahkan, big four tidak juga berafiliasi dengan closed source, saya kira mereka hanya tergantung dari bagaimana client nya saja. (ada client kita yang menggunakan jasa mereka dan mereka pun juga mendeliver software berbasiskan Open Source termasuk PostgreSQL juga)
Tetapi setuju sekali ide mengenai seharusnya pemerintah yang meng endorse atau membuat persyaratan khusus untuk penggunaan Open Source, hal ini sesuai dengan kampanye kita bahwa kita harus membangun ekosistem pendukung implementasi Open Source untuk bisnis, salah satunya adalah membuat koridor (aturan) yang mana memang sebaiknya dimulai dari foster parent dari Open Source itu sendiri. Dalam hal ini foster parent yang dimaksud adalah peran pemerintah (atau badan yang dibuat khusus untuk itu).

Mohammad Latif

Q: Bagaimana memilih produk Open Source yang akan kita pakai yang terjamin, karena kebanyakan Open Source basicnya komunitas?


A: Pak Made menyampaikan, karena sebagian besar software internet itu adalah software Open Source dan itu berbasiskan komunitas. Menurut saya, alasan berbasis komunitas itu bukan menunjukan kekurangan. Tapi bagaimana memilih dari beragam banyak software yang beragam komunitas. Yang namanya memilih itu kita tahu kebutuhan sekarang maupun masa depan. Sering kali kita tidak tau, apa yang kita butuhkan. Jadi ketika kita menggunakan Open Source, kita harus memilih dan berpikir. Kalau kita tidak tahu dengan pasti kebutuhan kita dan harus memilih, akan jadi membingungkan. Jadi sebelum bisa memilih dari pilihan yang banyak, kita harus mengetahui apa yang kita butuhkan. Bisnis yang baik adalah bisnis yang mengetahui kebutuhan dan memiliki planning masa depan.
Pak Julyanto juga menambahkan, kalau kita mau menggunakan untuk kepentingan bisnis, justru kita harus lupakan komunitas. Kita tidak boleh bergantung pada komunitas. Tidak bisa penggunaan Open Source berdasarkan based of community. Saya gambarkan Open Source sebagai anak yatim piatu, begitu dipakai dalam bisnis sudah menjadi bagian yang terpisah. Tidak boleh bergantung pada komunitas lagi. Kalau mau dipakai untuk bisnis, harus di treat sebagai bisnis solusi yang memiliki kelengkapan yang cukup lengkap.

Mohammad Latif

Q: Apakah kemampuan Open Source sudah bisa dibandingkan dengan yang Enterprise dan apa bisa digunakan untuk aplikasi core bisnis?


A: Tentunya Open Source saat ini sudah melampaui apa yang ada di Proprietary. Contoh nya PostgreSQL, karena kita sudah membuktikan performance nya seperti apa yang justru melebihi daripada software proprietary. Dengan kemampuan tuning, karena cukup fleksibel, implementasinya juga mudah. Kita bisa modifikasi sendiri, tuning sendiri. Sehingga performance nya pun dapat melampaui. Kembali lagi jika berbicara Open Source, seberapa bisa seseorang mengimplementasikannya. Saya menganalogikan Open Source seperti udara, semua orang bisa menghirupnya tidak ada yang bisa mengakui bahwa udara ini milik salah satu orang. Tetapi harus ada satu pihak yang dapat menjamin bahwa udara yang kita hirup itu cukup sehat. Pihak inilah yang menjadi expertise, expertise inilah yang mendedikasikan waktu nya untuk melakukan reset, performance tuning, dsb. Dan ketika memiliki expertise, maka dia bisa membawa Open Source application menjadi suatu yang lebih hebat.

Denny Rizky

Q: Terkait perkembangan Open Source ini apakah kedepannya akan berjalan lancar di tengah persaingan fitur-fitur terbaru di software license. boleh dijelaskan Pak?


A: Pak Julyanto menjelaskan, Open Source sebetulnya tidak dapat dibandingkan dengan proprietary, karena perbedaan dari ekosistemnya. Kita dapat melihat sisi kebebasan dalam penggunaannya. Apakah akan sama kebebasannya dengan menggunakan Open Source? Dengan fitur (Open Source) yang tidak terlalu banyak, kita dapat mengunggulinya (Propietary) dengan penggunaan Open Source.
Dan nantinya kita dapat mengembangkan sendiri untuk meng catch-up fitur yang ada. Ini sangat relate pekerjaan yang kita lakukan. Equnix mengkonversi database dari database “O” menjadi “P”, itu memiliki fitur yang berbeda. Equnix melakukan penyesuaian. Tidak masalah dengan fiturnya, selama kita mampu mendapatkan kebebasan yang lebih baik. Dan project Open Source memang sangat sering kita memiliki fitur yang lebih banyak. Karena itu merupakan pengembangan dari masing-masing developer.
Pak Made menambahkan, Saya melihatnya melalui tren yang ada. Dahulu banyak perusahaan yang antipati dengan Open Source, namun saat ini perusahaan tersebut banyak yang menggunakan Open Source. Dan hal tersebut bukan hal yang dapat dikontradiksikan karena memang hal yang berbeda. Namun di masa mendatang, apakah fitur nya dapat menyamai? Sebetulnya dari sisi teknis, fitur software Open Source secara teoritikalnya akan selalu lebih cepat. Secara stabil mungkin belum, karena berbicara kestabilan adalah berbicara mengenai komersialisasi. Perannya komersialisasi adalah untuk menjamin fitur mana yang memang aman untuk digunakan. Contohnya banyak teknologi-teknologi yang sudah ada di Open Source belum ada di proprietary, tapi untuk memanfaatkan dan apakah baik-baik saja, semuanya tentu perlu waktu. Jadi ini adalah dua hal yang berbeda. Pertama sangat memfokuskan pada jaminan operasional terhadap bisnisnya, yang kedua lebih kepada advancement pada fitur-fitur dan kebutuhannya.

Yurizal Rendi

Q: Untuk security nya sendiri sudah bisa bersaing dengan produk close source?


A: Sudah dijawab di atas sebetulnya, namun sebagai penegasan: Security dari sebuah implementasi sistem/software tidak tergantung pada apa yang dimiliki oleh software itu saja, security itu tercipta karena 3 faktor:

  1. Metode dan Strategi Implementasinya, dari desain, arsitektur, antisipasi kebiasaan user, topologi maupun User Interface mempengaruhinya.
  2. Standard Operating Procedure yang dibangun, apakah sudah sesuai, apakah sudah mengakomodasi kebutuhan security? Apakah penerapan hak aksesnya sudah sesuai dengan policy yang dibangun? Compliance dan Consistency.
  3. Apakah arsitektur software yang dibangun mendukung terciptanya penerapan standar keamanan yang baik? Apakah justru menghambat?

Tidak terlepas apapun software tersebut, apakah dikembangkan oleh komunitas ataukah oleh perusahaan (proprietary) semuanya akan menghadapi permasalahan terkait security yang sama, dan antisipasi adalah hal utama yang perlu menjadi pertimbangan. Bagaimanakah sebuah software mampu mengantisipasi permasalahan security? Tentu saja tidak ada software yang mampu mengantisipasi secara mandiri, antisipasi tersebut harus didukung oleh Principal, Vendor dan Implementasinya. Seperti halnya mobil tidak dapat mengantisipasi potensi kecelakaan tanpa adanya dukungan dari pembuat mobil, yang menjual mobil dengan dukungan purna jualnya, dan tentu saja yang paling utama siapa yang menggunakan mobil tersebut.

Yurizal Rendi

Q: Apakah produksi Open Source sudah kompatibel dengan mesin-mesin untuk manufacturing?


A: Sepertinya masih jarang software Open Source yang dikembangkan pada industri manufacturing, mungkin karena masih belum banyaknya para pengembang Open Source didunia ini. Terlebih akses terhadap mesin-mesin industri yang mahal dan tidak mudah ditemui di luar pabrik, mungkin jadi penyebab jarangnya ekspose pada industri ini.

Yurizal Rendi

Q: Apa produk Open Source sudah bisa di implementasi kan dengan produk IoT?


A: Sangat bisa, bahkan untuk membangun devices IoT, sebagian manufacturer menggunakan software yang berasal dari Open Source, seperti ucLinux.

Michael Tanu

Q: Menurut Pak Made, kira-kira apa sebabnya Open Source ini tidak diperkenalkan di sekolah-sekolah di Indonesia sejak dini, yang secara hitungan cost sangat low dan secara demand profesi ke depan nya juga sangat tinggi dan saat ini Bagaimana dukungan pemerintah untuk ekosistem Open Source? yang dilain pihak Open Source sangat membantu ekosistem digital di indonesia


A: Kalau kita melihat dari sisi pendidikan, kadang-kadang pendidikan dalam bidang IT itu sangat pragmatis. Apa yang dipakai orang itulah yang diajarkan. Sehingga nilai-nilai edukasi dari menghadirkan komputer sistem itu terabaikan. Inilah yang menjadi masalah kenapa Open Source tidak terlalu banyak dikenalkan di pendidikan dasar menengah. Karena pendidikan komputer kita pragmatis, artinya dia tidak melihat bahwasannya ketika mengajarkan komputer, yang diajarkan itu adalah menghargai HAKI, memodifikasi, bukan terampil menggunakan microsoft word. Kita pragmatis pendekatannya, seperti seseorang terampil menggunakan software X, sehingga banyak software di luar negeri yang lazimnya digunakan untuk siswa SD atau SMP, disini sama sekali tidak diajarkan. Ini yang menjadi masalah. Mungkin dunia pendidikan kita perlu juga harus melihat dulu sempat diajarkan juga, semakin kesini sangat pragmatis sekali, apa yang dipakai di luar negeri itulah yang diajarkan. Padahal namanya pendidikan itu tidak semua sama. Pendidikan itu menimbulkan sikap ketertarikan teknis, dan kemampuan memodifikasi. Kita disini hanya keterampilan menggunakan software, kita berhenti pada kemampuan menggunakan software. Sebetulnya rekan-rekan di pendidikan dasar menengah harus sudah melihat, bahwa sebelumnya sudah pernah berhasil. Ketika SMK diawal berpindah ke SMK Penelitian, guru-guru TIK wajib belajar Linux. Karena itulah yang akan menjadi dasar untuk mereka bisa cepat berkembang. Karena akan menimbulkan rasa keingintahuan siswa. Inilah yang harus digali kembali. Perangkat lunak apa saja yang dapat menimbulkan rasa ketertarikan siswa untuk mengoprek lebih lanjut. Termasuk untuk menghargai lisensinya. Inilah yang mungkin menjadi pekerjaan rumah di pendidikan dasar dan menengah serta tentunya di level perguruan tinggi. Jangan sampai peneliti melakukan penelitian dengan melanggar lisensi. Jangan sampai menjadi kontradiktif. Kita ingin dihargai karyanya namun tidak ingin menghargai karya orang lain. Penggunaan perangkat lunak di Indonesia sangat pragmatis karena tidak melihat konsep-konsep dasar edukasi dan filosofi pendidikan.

Rusdiansyah

Q: Pertanyaan ke semua narasumber: Jika dilihat dari sisi bisnis, apakah memakai Open Source sudah cocok digunakan di indonesia? Apakah support Open Source/komunitas di indonesia sudah sama dengan Negara-Negara lain seperti Jerman, etc?


A: Pak Julyanto menuturkan, kalau dari saya sudah cocok. Terbukti dengan sudah banyak yang menggunakan. Kalau untuk supportnya tergantung dengan software dan siapa yang melakukan support. Tentunya kalau secara in Average saya kira belum. Dan kita harus mencapai itu supaya kita dapat mencapai kemandirian dengan memberikan layanan secara mandiri di dalam negeri.
Menurut Pak Made, kalau terkait software sudah oke, tapi kekurangan kita dibandingkan dengan Jerman adalah masih minimnya perusahaan yang menyediakan support untuk pengguna dan pengembangan Open Source. Hal yang kurang di Indonesia adalah kurangnya perusahan-perusahaan entitas bisnis yang secara profesional memberikan dukungan untuk support Open Source. Masih belum banyak yang memfokuskan pada software Open Source. Itulah kelemahan kita kalau dibandingkan dengan negara lain dalam pengadopsian Open Source.

I Putu Agus

Q: Bagaimana agar produk software yang mahasiswa buat ini bisa menjadi Open Source, sehingga pengembangannya dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat besar untuk semua pihak? Jadi bukan hanya sebatas "bikin software dan berakhir untuk syarat lulus/wisuda" saja.


A: Menurut Pak Made, hal pertama yang dilakukan adalah suatu kampus mungkin perlu membuat lisensi pada software yang sudah dirilis mahasiswa saat tugas akhir. Dengan cara itu lisensinya dapat menjadi Open Source. Kedua, kampus tersebut menyediakan repository, sehingga setiap hasil karya mahasiswa dapat diletakkan dalam repository tersebut yang dapat dilanjutkan oleh mahasiswa lainnya dan memudahkan untuk mencari source codenya. Namun hal tersebut tidaklah mudah. Karena mahasiswa tersebut menjadi lebih berat karena semua orang dapat melihat yang dikerjakan itu benar atau tidak. Salah satu hal yang menarik dari Open Source adalah menguji diri kita sendiri, apakah kita siap untuk dilihat orang lain atau tidak. Semua penemuan ilmiah itu selalu bergeser pelan-pelan, sehingga dengan cara tersebutlah pengembangan perangkat lunak di kampus dapat terus berkelanjutan. Jadi, buatlah lisensi yang bersifat Open Source untuk karya mahasiswa tingkat akhir, dan sediakan repository untuk itu dan repository tersebut dapat diketahui oleh seluruh mahasiswa maupun dosen. Lalu bagaimana mahasiswa mau melakukannya? repository tersebut dapat dijadikan portofolio untuk mahasiswa. Karena mahasiswa akan rela melakukannya kalau mereka dapat menerima benefit di masa depannya. Apalagi berkaitan dengan merdeka belajar. Sehingga tugas akhir mahasiswa ada baiknya terkait dengan real project apalagi real project dalam dunia bisnis.
Pak Julyanto juga menambahkan bahwa kita bisa ikut berkontribusi ke Open Source yang sudah ada. Salah satu program Equnix adalah ingin mengenalkan kepada kalangan akademisi sebuah kebutuhan-kebutuhan bisnis terkait pada Open Source yang ada seperti PostgreSQL, dll. supaya bisa dikembangkan di kampus-kampus.

Michael Tanu

Q: Tanya kepada Pak Made, Open Source itu sangat didukung oleh komunitas, tetapi begitu komunitas tidak mensupport, maka kita juga akan kesulitan, bukankah ini sama dengan software proprietary? Ada beberapa Open Source yang nasibnya seperti itu, misalnya Idempiere, ditinggalkan dan muncul Idempiere. Bagaimana caranya kita memilih Open Source yang everlasting?


A: Jawaban dapat dilihat pada no. 30

Michael Tanu

Q: Izin bertanya ke Team Equnix, Bagaimana Solusi yang akan disediakan dari Equnix untuk kedepannya dalam mengantisipasi kejahatan cyber security/pencurian data untuk perusahaan yang berorientasi ke public service? Terima kasih


A: Equnix sudah sejak lama memberikan best-practice terkait mitigasi untuk menghindarkan kita dari kejahatan cyber. Semua client Equnix sudah mendapatkan assessment terkait hal tersebut, dan bilamana ada implementasi sistem yang menjadi tanggungjawab Equnix tidak terimplementasi dengan baik, maka akan menjadi subjek utama untuk perbaikan, dan bilamana tidak dapat dilakukan perbaikan maka akan dicarikan antisipasi yang baik untuk kedua belah pihak.
Selama client Equnix melaksanakan implementasi yang sudah dirancang dan terbukti nyata, sistem mereka akan tetap aman.

Michael Tanu

Q: Bertanya kepada Pak Made, kira-kira apa sebabnya Open Source ini tidak diperkenalkan di sekolah-sekolah di Indonesia sejak dini, yang secara hitungan cost sangat low dan secara demand profesi ke depan nya juga sangat tinggi dan saat ini Bagaimana dukungan pemerintah untuk ekosistem Open Source? yang dilain pihak Open Source sangat membantu ekosistem digital di indonesia


A: Kalau kita melihat dari sisi pendidikan, kadang-kadang pendidikan dalam bidang IT itu sangat pragmatis. Apa yang dipakai orang itulah yang diajarkan. Sehingga nilai-nilai edukasi dari menghadirkan komputer sistem itu terabaikan. Inilah yang menjadi masalah kenapa Open Source tidak terlalu banyak dikenalkan di pendidikan dasar menengah. Karena pendidikan komputer kita pragmatis, artinya dia tidak melihat bahwasannya ketika mengajarkan komputer, yang diajarkan itu adalah menghargai HAKI, memodifikasi, bukan terampil menggunakan microsoft word. Kita pragmatis pendekatannya, seperti seseorang terampil menggunakan software X, sehingga banyak software di luar negeri yang lazimnya digunakan untuk siswa SD atau SMP, disini sama sekali tidak diajarkan. Ini yang menjadi masalah. Mungkin dunia pendidikan kita perlu juga harus melihat dulu sempat diajarkan juga, semakin kesini sangat pragmatis sekali, apa yang dipakai di luar negeri itulah yang diajarkan. Padahal namanya pendidikan itu tidak semua sama. Pendidikan itu menimbulkan sikap ketertarikan teknis, dan kemampuan memodifikasi. Kita disini hanya mempelajari keterampilan menggunakan software, kita berhenti pada kemampuan menggunakan software. Sebetulnya rekan-rekan di pendidikan dasar menengah harus sudah melihat, bahwa sebelumnya sudah pernah berhasil. Ketika SMK diawal berpindah ke SMK Penelitian, guru-guru TIK wajib belajar linux. Karena itulah yang akan menjadi dasar untuk mereka bisa cepat berkembang. Karena akan menimbulkan rasa keingintahuan siswa. Inilah yang harus digali kembali. Perangkat lunak apa saja yang dapat menimbulkan rasa ketertarikan siswa untuk mengoprek lebih lanjut. Termasuk untuk menghargai lisensinya. Inilah yang mungkin menjadi pekerjaan rumah di pendidikan dasar dan menengah serta tentunya di level perguruan tinggi. Jangan sampai peneliti melakukan penelitian dengan melanggar lisensi. Jangan sampai menjadi kontradiktif. Kita ingin dihargai karyanya namun tidak ingin menghargai karya orang lain. Penggunaan perangkat lunak di Indonesia sangat pragmatis karena tidak melihat konsep-konsep dasar edukasi dan filosofi pendidikan.

Nana Beawiharta

Q: pertanyaan untuk pak Made, hingga saat ini, seberapa besar support pemerintah dalam menggalakan atau membangun ekosistem Open Source di Indonesia? karena ekosistem itu mencakup ke human resource (hulu ke hilir), pendidikan, korporasi maupun pemerintahan dll. Bagaimana support pemerintah sejauh ini? Apakah ada kendala? siapa yang dapat berperan besar (dalam hal ini pemerintah) dalam menggalakan Open Source di Indonesia.


A: Kalau dari kacamata Pemerintah secara multi dimensi, saat ini pemanfaatan IT ada dalam kegiatan yang disebut dengan SPBE (Situs Pemerintahan Berbasiskan Elektronik) dengan koordinator Kemenpan RI dan kampus pun terlibat didalamnya, semua berjalan secara bersama-sama. Terkait pada SDM, tentu saja Kemendikbud Arsitek dan lainnya juga tetap berperan. Dan sudah memiliki banyak program, seperti Kementerian Tenaga Kerja yang memiliki balai pelatihan tenaga kerja, juga banyak menggunakan aplikasi berbasiskan Open Source. Itu saja masih tetap kurang, karena kebutuhan SDM untuk bidang IT itu tinggi sekali. Menurut kacamata saya, kebutuhan SDM dalam bidang IT tidak hanya untuk sektor di bidang swasta tapi pada sektor pemerintahan dan layanan publik juga cukup tinggi. Ditambah dengan kondisi pandemi, pendataan pasien covid sangatlah penting. Jadi kita tidak bisa meminimalkan peran IT dalam bidang non-industri. Kerjasama yang baik antara industri dan akademisi serta lembaga pemerintahan itu mampu menjawab permasalahan ini.

Apradi Apri

Q: Kenapa ya pak Open Source dari luar negeri lebih open dalam artian source code full, dimana kalau di dalam negeri tidak ada dalam artian tidak berkembang? contoh idempiere yang saya geluti sekarang


A: Pak Jul: Idempiere termasuk dari luar negeri karena berasal dari Compiere. Komunitas developer untuk Open Source (di Indonesia) sangatlah jarang. Saya kira relate pada mentality yang sudah disampaikan Pak Made.
Pak Made menambahkan, salah satu aplikasi Open Source di indonesia yang lumayan cukup aktif adalah SLIMS-Senayan Library Management System. Software tersebut bahkan tidak hanya digunakan di Indonesia tapi di luar negeri. Ide dasarnya adalah library yang dapat memiliki program. Karena di Indonesia belum ada software yang berfungsi untuk memanaged perpustakaan. Saat itu ada 1 software proprietary yang digunakan, namun perpustakaan kecil tidak mampu menggunakannya. Akhirnya munculah software tersebut. Akhirnya komunitas berkembang dan semakin besar, hingga sampai saat ini source code nya pun masih available. Itu salah satu model yang menarik. Ada juga model lainnya yang menarik yaitu SIMKES Khanza, dimana source code nya pun tersedia. Setiap orang dapat meng compile, ngoprek, dsb, hingga berkembang banyak. Aplikasi Open Source di Indonesia muncul karena dimulai dari kebutuhan masyarakat Indonesia.

Zulhusni

Q: Apakah ada peranan pemerintah mendukung Open Source itu pak?


A: Beberapa saat yang lalu ada IGOS (Indonesia Go Open Source) namun saat ini belum ada lagi gerakannya. Saat ini sudah banyak instansi pemerintah yang sudah memindahkan Database Oraclenya ke PostgreSQL agar lebih fleksibel dan mandiri.

Recording: